Filsafat islam: Pemikiran Ibnu Rusyd

Nama: Ami Fatimatuz Zahro'

NIM: 11210511000009


Dalam pertemuan online ke-13 yang dilakukan di Google Meet pada Rabu (23/11), mata kuliah Filsafat Islam yang diampu oleh Drs. Study Rizal LK. M. Ag. dalam pertemuan tersebut membahas tentang filsafat menurut Ibnu Rusyd.
Pemakalah kelompok 11 mengambil sumber materi dari buku Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya karya Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar M.A. Berikut pembahasannya:

Riwayat Hidup

Abu al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad ibnu Muhammad Ruys dilahirkan di Cordova,  Andalusia pada tahum 510 H/ 1126 M, sekitar 15 tahun wafatnya al-Ghazali, ia lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd.

Ibnu Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali pada ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang ikut melempangkan jalan baginya menjadi ilmuan. Faktor yang lebih dominan bagi keberhasilannya adalah ketajaman berpikir dan kegeniusan otaknya.

Pada saat berkarir, perjalanan ibnu Rusyd tidaklah berjalan mudah lepas dari pengalaman pahit yang menimpa para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu.

Dalam bidang kedokteran, Ibn Rusyd belajar pada Abu Ja'far Harun At Tirjali dan Abu Marwan bin Kharbul. Dalam biddang filsafat, ia belajar pada Ibnu Bajjah, yang di barat dikenal dengan Avinpace, filosof besar di Eropa sebelum Ibn Rusyd. Selain itu, ia juga berhubungan dengan dokter Abu Marwan bin Zuhr dan raja Dinasti Muwahhidun. Selain menjalin perhubungan yang akrab dengan Ibnu Zuhr, Ibn Rusyd juga mempunyai hubungan yang baik dengan kerajaan Islam Muwahidin terutama dengan amir ketiga khalifah Abu Yusuf Al-Mansyur. Hubungan dan kepercayaan tersebut, akhirnya Ibn Rusyd dilantik sebagai hakim di Sevilla pada tahun 1169. Dua tahun kemudian, beliau dilantik menjadi hakim di Cordova, kemudian dilantik sebagai dokter istana pada tahun 1182 M.

Namun sayang, karena ajaran filsafatnya banyak ulama yang tidak menyukainya, bahkan ada yang sampai mengkafirkan Ibn Rusyd. Ada juga sekelompok ulama yang berusaha untuk menyingkirkan dan memfitnah bahwa dia telah menyebarkan ajaran filsafat yang menyimpang dari ajaran Islam. Atas tuduhan itulah, Ibn Rusyd diasingkan oleh pemerintah ke suatu tempat bernama Lucena. Tidak hanya itu, banyak diantara karya-karya filsafatnya dibakar dan diharamkan untuk dipelajari.

Karya-Karya Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd seorang pengarang yang produktif. Salah satu kelebihan karya tulisnya ialah gaya penuturan yang mencakup komentar, koreksi, dan opini sehingga karyanya lebih hidup dan tidak sekadar deskripsi belaka.

Karya tulis Ibnu Rusyd yang masih dapat ditemukan adalah sebagai berikut:

  • Fashl al-Maqal fi mal Bain al-Hikmat wa al-Syarak min al-Insihall, yang berisikan korelasi antara agama dan filsafat
  • al-Kasyf'an Manahij al-Adillat fi Aqaid al-Millat, berisikan kritik terhadap metode ilmu kalam dan sufi
  • Tahafut al-Tahafut, berisikan kritikan terhadap karya al-Ghazali yang berjudul Tahaful a-Falasifat
  • Bidayat al-Mujtahid wa Nikayat al-Muqtashid, berisikan uraian-uraian di bidang fiqh.
Jawaban atau Sanggahan terhadap Pemikiran al-Ghazali

Alam Qadim
Menurut Al-Ghazali, sesuai dengan keyakinan teolog Muslim, alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada (al-ijad min al-'adam, creatio ex nihilo). Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak butuh kepada yang mengadakan. Justru itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof Muslim, alam ini kadim, dalam arti alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.

Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali keliru menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa kadimnya alam sama dengan kadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada, menurut filosof Muslim adalah sesuatu yang mustahil yang tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil yang kosong) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti kadim.

Dalam Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perselisihan antara mereka tentang alam ini hanya perselisihan dari segi penanaman atau semantik. Lebih lanjut dikatakannya, mereka sepakat bahwa segala yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis.

  1. Jenis pertama, wujudnya karena sesuatu yang lain dan dari sesuatu, dengan arti wujudnya ada Pencipta dan diciptakan dari benda serta didahului oleh zaman. Jenis ini adalah benda-benda yang dapat diketahui dengan indra, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, dan lainnya. Wujud ini mereka namakan dengan baharu
  2. Jenis kedua, wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman. Wujud ini sepakat mereka namakan dengan kadim. Ini hanya dapat diketahui dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan memeliharanya. Wujud yang kadim inilah yang disebut dengan Allah.
  3. Wujud yang ketiga ini adalah wujud ditengah-tengah antara kedua jenis diatas, yaitu wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman, tetapi terjadinya karena sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini adalah alam semesta. Wujud alam ini ada kemiripannya dengan wujud jenis yang pertama dan yang kedua. Dikatakan ini mirip dengan wujud jenis yang pertama karena wujudnya dapat kita saksikan dengan indra, dan dikatakan wujudnya mirip dengan jenis yang kedua karena wujudnya tidak didahului oleh zaman dan adanya sejak azali. 
Oleh karena itu, siapa yang mengutamakan kemiripannya dengan baharu, maka wujud alam ini mereka sebut baharu, dan siapa yang mengutamakan kemiripannya dengan kadim, maka mereka katakan alam ini kadim. Sebenarnya wujud pertengahan (alam) ini tidak benar-benar kadim dan tidak pula benar-benar baharu. Sebab yang benar-benar kadim adanya tanpa sebab, dan yang benar-benar baharu pasti bersifat rusak.

Kritik Ibnu Rusyd terhadap Emanasionisme Para Filsuf Muslim
Ibnu Rusyd menolak secara tegas emanasionisme yang dikemukakan oleh para filsuf modern sebelumnya.
  1. Pertama, bahwa dari al-Fa'il al-Awwal (Pencipta pertama) hanya memancar satu, bertentangan dengan pendapatnya sendiri, bahwa yang memancar dari yang satu pertama terdapat pada yang banyak, padahal dari yang satu mesti memancar satu.
  2. Kedua, akibat kurang ketelitian al-Farabi dan Ibnu Sina, maka pendapat ini telah diikuti orang banyak, kemudian mereka menisbatkannya kepada para filsuf termasuk Aristoteles, padahal mereka tidak berpendapat demikian
  3. Ketiga, menurut Ibnu Rusyd prinsip-prinsip yang memancar dari prinsip yang lain, merupakan sesuatu yang tidak dikenal oleh filosof-filosof terdahulu.

Terima kasih.

Komentar

Postingan Populer