Filsafat: Pemikiran Al-Farabi
Nama : Ami Fatimatuz Zahro'
NIM : 11210511000009
Dosen Pengampu Matkul Filsafat Islam : Drs. Study Rizal LK. M.Ag.
Dalam pertemuan online ke-5 yang dilakukan di Google Meet pada tanggal 05 Oktober 2022, mata kuliah Filsafat Islam yang diampu oleh Drs. Study Rizal LK. M. Ag. dalam pertemuan tersebut diawali dengan diskusi mahasiswa yang dipimpin oleh pemakalah kelompok 3 yang membahas tentang pemikiran Al-Farabi mengenai Ilmu Filsafat.
Pemakalah mengfambil sumber materi dari buku "Filsafat Islam: Filosof & Filsafatnya" karya Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A.
Abu Nashr Muhammad Ibnu Tarkhan Ibn Auzalagh yang dikenal dengan Al-Farabi, dilahirkan di Wasij, Distrik Farab, Kazakhstan pada tahun 257 H atau 870 M merupakan ilmuan dan filsuf Islam. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan Ibunya berkebangsaan Turki. Al-Farabi benar-benar memahami Ilmu Filsafat Aristoteles, yang dijuluki al-Mu'allim al-Awwal (Guru pertama), sehingga tidak mengherankan bila Ibnu Sina, yang menyandang predikat al-Syaikh al-Rais (Kyai utama), mendapatkan kunci dalam memahami filsafat Aristoteles lewat buku Al-Farabi, yang berjudul Fi Aghradhi ma ba'd al-Thabi'at.
Al-Farabi mendapat julukan al-Mu'allim al-Sany (Guru kedua). Penilaian ini dihubungkan dengan jasanya sebagai penafsir yang baik dari logika Aristoteles. Berikut karya tulis Al-Farabi yang terpenting:
- al-Jam'bain bin Ra'yai al-Hakimain
- Tahsil al-Sa'adat
- Maqalat fi Aghradh ma ba'd al-Thabi'at
- Risalat fi Isbat al-Mufaraqat
- Uyun al-Masa'il
- Ara ahl al-Madinat al-Fadhilat
- Maqalat fi Ma'any al-'Aql
- Ihsha al-'Ulum
- Fushul al-Hukm
- Al-Siyasat al-Madaniyyat, dan lain-lainnya.
Al-Farabi telah berhasil merekonsiliasikan beberapa ajaran filsafat sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles dan juga antara agama dan filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal filosof sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat.
Al-Farabi meyakini bahwa aliran filsafat yang bermacam-macam itu hakikatnya hanya satu, yaitu mencari kebenaran.
Kemudian, dalam pembahasan tentang ketuhanan, Al-Farabi mengkompromikan antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni al-Maujud al-Awwal (wujud pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Konsep ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran Islam. Dalam membuktikan adanya Allah, Al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan mumkin al-Wujud. menurutnya segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga, yakni Wajib al-Wujud dan mumkin al-Wujud.
Wajib al-Wujud adalah wujudnya harus ada, ada dengan sendirinya, karena natur-nya sendiri yang menghendaki wujudnya. Esensinya tidak dapat dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena lainnya. Ia ada selamanya dan todak didahului oleh tiada, Jika wujud ini tidak ada, maka akan timbul kemustahilan karena wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Wajib al-Wujud inilah yang disebut dengan Allah.
Sementara yang dimaksud dengan mumkin al-Wujud ialah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya. Wujud ini jika diperkirakan tidak wujud, tidak mengakibatkan kemustahilan. Mumkin al-Wujud tidak akan beurbah menjadi wujud aktual tanpa adanya wujud yang menguatkan dan yang menguatkan adanya itu bukan dirinya, tetapi Allah sebagai Wajib al-Wujud.
Lalu hirarki menurut Al-Farabi adalah sebagai berikut:
- Tuhan yang merupakan sebab pencapaian wujud lainnya
- Para Malaika yang merupakan wujud yang sama sekali tidak material
- Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (calestial)
- Benda-benda bumi (terestrial)
Konsep akal menurut Al-Farabi:
- Akal potensial (al-'Aql al-Hayulani)
- Akal aktual (al-'Aql bi al-Fi'il)
- Akal mustafad (al-'Aql al-Mustafad)
Menurut Al-Farabi akal dibagi menjadi tiga, yaitu:
- Allah sebagai akal
- Akal dalam filsafat emanasi satu sampai sepuluh
- Akal terdapat dalam setiap diri manusia
Kemudian Drs, Study Rizal LK. M. Ag menambahkan materi, secara akal Allah adalah Wajib al-Wujud, keberadannya menjadi wajib, tidak mungkin bahwa alam semesta tidak ada yang menciptakan, kesimpulannya Allah adalah Wajib al-Wujud, dimana dikalangan para filsuf dikenal dengan sebagai kecerdasan yang luar biasa, Allah maha cerdas, dengan kecerdasan yang tidak membutuhkan objek, karena kalau membutuhkan objek berarti Allah tidak bersifat Wajib al-Wujud.
Kecerdasan yang kedua disebut akal yang ketika dipikirkan tentang dirinya, maka melahirkan alam semesta yang seterusnya sampai akal ke-10 (Malaikat Jibril) yang mengatur tentang bumi, yang melahirkan kebenaran, keadilan dan sebagainya. Dan Nabi pun mendapatkan wahyu dari Malaikat Jibril. Sehingga kebenaran wahyu dan kebenaran filsafat tidak saling bertentangan.
Kesimpulan filsuf mengatakan, bahwa kebahagian tertinggi itu tidak bersifat fisik tapi bersifat rohani. Namun dalam sisi lain tingkat akhir manusia adalah menginginkan al-jannah yang bersifat fisik, dari sana al-Farabi mengambil kesimpulan bahwa al-Jannah bersifat rohani yang selanjutnya akan dikritik oleh al-Ghazali.
Kemudian mengenai jiwa, jiwa disempurnakan oleh ruh dengan segala potensi yang diberikan, Malaikat Jibril lah yang menjadi mediasi lahirnya ruh-ruh yang ada di alam bumi.
Sekian, terima kasih.
:)
Komentar
Posting Komentar