Filsafat Islam: Pemikiran Ibnu Thufail
Nama: Ami Fatimatuz Zahro'
NIM: 11210511000009
Mata Kuliah: Filsafat Islam
Dosen Pengampu: Drs. Study Rizal LK, M. Ag.
Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu Thufai. Ia dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.
Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”.
Pada mulanya Ibnu Thufail aktif bekerja sebagai dokter dan pengajar, lalu ia beralih profesi sebagai sekretaris pribadi penguasa Granada. Pada tahun 549 H/1154 M, ia dipercaya sebagai sekretaris gubernur wilayah Ceuta dan Tengier (Maroko), sedang gubernur itu merupakan putra Abd al- Mukmin, seorang pendiri Daulah Muwahhidun yang berpusat di Marakesy, Maroko.
Pada tahun 558 H/1163 M, ia di tarik ke Marakesy dan diangkat sebagai hakim sekaligus dokter untuk keluarga istana Abu Yakub Yusuf yang memerintah pada tahun 1163-1184 M. Ibnu Thufail sempat memperkenalkan Ibnu Rusyd kepada Abu Ya’kub Yusuf pada tahun 1169 M. Bermula dari perkenalan itu, Abu Ya’kub Yusuf menyarankan Ibnu Rusyd lewat Ibnu Thufail agar mengulas karya-karya Aristoteles.
Karya Ibnu Thufail
Tidak banyak karya Ibnu Thufail, bahkan hanya satu yang tersisa sampai hari ini, yaitu Rislah Hayy Ibnu Yaqzan. Terdapat dua tulisan dengan judul Hayy Ibnu Yaqzan, yakni versi Ibnu Thufail dan Ibnu Sina. Namun, Ibnu Sina yang lebih dulu memakai judul tersebut, kendati versinya berbeda.
Dalam rislah yang ditulis oleh Ibnu Sina, Hay ibn Yaqzan diukiskan sebagai seorang syekh tua yang ditangannya tergenggam kunci-kunci pengetahuan, yang ia terima dari bapaknya. Syekh tua adalah seorang pengembara yang dapat menjelajahi semua penjuru bumi, dan disebutkan bahwa Ibnu Sina bersama kawan-kawannya, dalam suatu perjalanan, berjumpa dengan syekh tua tersebut, dan terjadilah dialog. Syekh tua dengan nama Hay ibn Yaqzan dalam karya tulis Ibnu Sina itu merupakan tokoh simbolis bagi akal aktif, yang selain berkomunikasi dengan para nabi, juga berkomunikasi dengan para filosof.
Bebeda dengan versi Ibn Sina, Hayy ibn Yaqzan dalam tulisan Ibn Thufail, dilukiskan sebagai seorang bayi laki-laki yang berada di sebuah pulau yang pernah dihuni oleh manusia. Bayi tersebut boleh jadi muncul karena terbentuknya percampuran tanah dan air sedemikian rupa sehingga cocok untuk dimasuki jiwa manusia sehingga muncullah bayi itu, atau boleh jadi, ia adalah bayi hasil pernikahan sah secara rahasia antara saudara perempuan seorang raja dengan anggota keluarga istana pulau lain. Karena takut pada raja, bayi tersebut dimasukkan kedalam peti dan dilepas terapung di laut. Arus gelombang membuat peti itu terdampar di pulau diantara pulau-pulau yang terletak di bawah garis khatulistiwa. Bayi tersebut akhirnya ditemukan oleh seekor rusa yang kehilangan anaknya. Ketika umurnya semakin matang, timbul keinginannya yang luar biasa untuk mengetahui dan menyelidiki suatu yang tidak dimengertinya. Perhatiannya ditujukan kepada langit, gerakan bintang, peredaran bulan, serta pengaruhnya pada dunia. Dari situ nampak adanya keindahan, ketertiban, dan tanda-tanda penciptaan.
Epistimologi Pengetahuan Menurut Ibnu Thufail
Inti dari pemikiran Ibnu Thufail dalam mencari kebenaran tertuang pada karyanya yang berjudul Hayy Ibnu Yaqzan, dalam karya tersebut mengisahkan perjalanan manusia yang melakukan spiritual untuk mencari kebenaran. Dalam mencari jalan yang benar melalui berbagai tahap tindakan dan pengamatan. Dalam karya tersebut memaparkan bahwa melakukan pencariannya dengan memulai dari pengamataninderawinya, kemudian menggunakan akal pikiran (rasio), serta menggunakan batinnya seperti akal, indra, dan intuisi. Kemudian Hayy Ibnu Yaqzhan melakukan pengamatan sedikit demi sedikit terhadap fenomena yang terdapat disekitarnya seperti, gejala alam, binatang-binatang, yang selanjutnya jalan pada Sang Kebenaran yang ia temukan setelah melalui beberapa tahapan. Dari berbagai tahapan tersebut akhirnya Hayy Ibnu Yaqzhan telah berhasil menemukan esensi dari segala esensi yang ada.
Konsep Jiwa Menurut Ibnu Thufail
Menurut pemikiran Ibnu Thufail, manusia merupakan suatu perpaduan dari tubuh, jiwa hewani, dan non bendawi. Dari perpaduan tersebut dapat digambarkan oleh binatang, benda angkasa, dan Tuhan. Karena hal tersebut pencapaian dalam konsep jiwa terletak pada pemuasan kepada tiga aspek tersebut. Kemudian ia melakukan tindakan-tindakan yang meniru pada hewan, benda angkasa dan Tuhan. Mengenai dalam peniruan pertama yang tertuju kepada objek hewan. Dalam proses tersebut ia melakukan segala hal yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya dari kebutuhan primer serta kebutuhan untuk melindungi dari cuaca buruk dan hewan buas, namun dari proses tersebut ia hanya memiliki satu tujuan, yaitu untuk mempertahankan jiwa hewani. Kemudian ia melakukan peniruan kedua, dari proses tersebut ia menuntut dirinya dalam hal kebersihan tubuh dan pakaian, sikap baik kepada objek-objek hidup dan mati, serta perenungan atas esensi tubuh dan perputaran esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Thufail Nampak yakin kepada benda-benda angkasa tersebut memiliki jiwa hewani dan ia terhanyut ke dalam perenungan yang sangat mendalam tentang Tuhan. Pada peniruan yang terakhir kalinya ia harus melengkapi dirinya dengan sifat Tuhan yang positif maupun yang negatif, seperti kebijaksanaan, kekuasaan, pengetahuan, serta kebebasan dari hasrat jasmaniah dan lain sebagainya. Kemudian ia melakukan kewajiaban itu untuk dirinya sendiri, untuk orang lain, dan terutama untuk Tuhan. Kewajiban tersebut merupakan suatu bentuk disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir ini merupakan suatu akhir dibanding kedua objek tersebut, namun sebelumnya itu dapat membawa kepada perwujudan dalam visi mencapai rahmat Tuhan dan sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.
Konsep Akal Ibnu Thufail
Dalam memaparkan pemikirannya mengenai konsep akal, Ibnu Thufail menuangkan dalam karyanya yang berjudul Hayy Ibn Yaqzhan. Di dalam karya tersebut di perumpamakan dalam kisah seseorang yang bernama Hayy. Hayy tersebut merupakan sosok manusia yang mempunyai akal yang dibarengi dengan kesucian jiwa. Ia dapat membedakan sesuatu mana yang hak dan mana yang bathil, serta ia dapat memecahkan masalahnya sehingga sampai pada puncak al-Haqiqat al-Ulya.
Dalam karya tersebut memaparkan bahwa Hayy mempunyai alegorik akal Fa’al yang dapat menunjukkan manusia pada puncak tertinggi yaitu puncak alHaqiqat al-Ulya, puncak tersebut merupakan akal yang ke Sembilan (al-Uqul alTis’ah). Ibnu Thufail menjelaskan konsep akal dalam karyanya ke dalam bentuk alquwwat al-nathiqoh, yang berarti daya jiwa yang bersifat dinamis, berfikir, dan mengandung unsur ketuhanan, walaupun jasad hancur. Namun dari maksud tersebut juga dapat dikatakan konsep akal yang dapat berkomunikasi dengan alam materi.
Dalam karya tersebut berpendapat bahwa fungsi akal itu sangat tinggi. Seperti karangan pada saat Hayy melakukan pengasingan diri yang tidak pernah berinteraksi dengan masyarakat, serta tanpa terjadi sentuhan-sentuhan ajaran dari luar. Namun dengan kelebihan yang terdapat pada diri Hayy, maka ia dapat memahami kebenaran, dapat memikirkan sebab kematian seekor rusa yang tidak ada sebabnya, kemudian dari berbagai percobaan yang ia lakukan, sehingga ia dapat mengetahui realitas Yang Maha Tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa akal merupakan daya kekuatan yang berfungsi untuk memperoleh segala ilmu yang meliputi duniawi dan ukhrawi. Fungsi akal yang lainnya adalah untuk memahami kebenaran yang berbau fisik maupun metafisik.
Komentar
Posting Komentar