Filsafat: Pemikiran Al-Ghazali
Nama: Ami Fatimatuz Zahro'
NIM: 11210511000009 Jurnalistik 3A
Mata Kuliah: Filsafat Islam
Dosen Pengampu: Drs. Study Rizal LK, M. Ag
Dalam pertemuan online ke-10 yang dilakukan di Google Meet pada Rabu (9/11), mata kuliah Filsafat Islam yang diampu oleh Drs. Study Rizal LK. M. Ag. dalam pertemuan tersebut membahas tentang filsafat menurut Al-Ghazali.
Pemakalah kelompok 8 mengambil sumber materi dari buku Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya karya Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar M.A. Berikut pembahasannya:
Biografi Al-Ghazali
Al-Ghazali mempunyai nama lengkap Abu Hamid
Muhammad Ibnu Muhammad ibnu Muhammad Al-Ghazali
al-Thusi yang bergelar hujjatul Islam. Di dilahirkan di Thusi
(sekarang dekat Meshed) salah satu daerah Khurasan (sekarang
masuk wilayah Iran) tahun 450 H (1058 M).2
Di tempat ini pula
dia wafat dan dikuburkan pada tahun 505 H./ 111 M,3
dalam usia
yang relatif belum terlalu tua yaitu 55 tahun.
Al-Ghazali merupakan seorang yang memberikan kontribusi besar dalam keilmuan Islam. Ia selalu hidup berpindah
dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari suasana baru, untuk
mendalami pengetahuan dan mengajarkan pengetahuan. Dalam
kehidupan berpolitik, ia sering menerima jabatan di pemerintahan.
Berikut ini hal-hal yang pernah dihasilkan oleh al-Ghazali, dalam
perpindahan dan pengembaraannya dari satu tempat ke tempat
yang lain.
Pertama, ketika ia di Baghdad, ia pernah di daulat
menjadi pengajar dan guru besar di perguruan tinggi Nidzamiyah
selama kurang lebih (empat) tahun.
Kedua, ketika ia meninggalkan
kota Baghdad untuk berangkat ke Damaskus, di Damaskus untuk
menjalankan cara hidup yang sama sekali lain dari kehidupannya
ketika di Baghdak. Ia menetap hampir 2 tahun di Damaskus untuk
berkhalwat melatih dan berjuang keras membersihkan diri, akhlak,
dan menyucikan hati dan beri’tikaf di mesjid Damaskus.
Ketiga,
kemudian ia berpindah ke Palestina untuk mengunjungi kota
Hebron dan Jerussalem, tempat para nabi di utus, seperti Ibrahim
dan Isa. Keempat, ia meninggalkan Palestina.
Karya-karya Al-Ghazali
- Ihyal Ulum al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama)
- Maqashid al-Falasifat (Tujuan-tujuan para filosof)
- Tahafut al-Falasifah (kerancuan pemikiran para filosof)
- Al-Munqidz min al-Dhalal (Sang Penyelamat dari Kesesatan)
- 6. Karya al-Ghazali lain di bidang ilmu-ilmu agama; Jawahir Al-Qur'an (mutiara-mutiara yang terkandung dalam al-Qur’an), Mizan al-Amal (Kriteria amal perbuatan), Misykat Al-anwar (lentera cahaya-cahaya), Faishal al-Tafriq baina al-Islam wa Al-Zindaqah (perbedaan pemisah antara Islam dan Zindiq), Al-Qisthas al-Mustaqim (Neraca yang adil), Ayyuhal Walad (wahai anakku!), al-Adab fi al-Dien (sopan santun dalam keagamaan), dan lain-lain.
Sanggahan Al-Ghazali terhadap Para Filosof
Al-Ghazali menyampaikan sanggahan keras kepada pemikiran para filodof, seperti Aristoteles dan Plato, serta Al-Farabi dan Ibnu Sina. Kritik tersebut tertuang dalam bukunya, yaitu Tahafut al-Falasifat (Kerancuan Pemikiran Para Filosof), yang mendemonstrasikan kepalsuan para filosof beserta doktrin-doktrin mereka.
Al-Ghazali mempelajari filsafat tanpa bantuan seorang guru dan ia menghabiskan waktu selama dua tahun. Setelahnya pemikiran tersebut dituangkan dalam bukunya Maqashud al-Falasifat (Tujuan Pemikiran Para Filosof), dimana dengan buku ini Al-Ghazali disebut benar-benar menguasai argumen yang dipergunakan para filosof. Ini pula didukung oleh pendapatnya yang menegaskan bahwa menolak sebuah mazhab sebelum memahaminya dan menelaahnya dengan seksama dan sedalam-dalamnya, berarti menolak dalam kebutaan.
Dalam buku Munqiz min al-Dahlal, Al-Ghazali mengelompokkan filosof menjadi tiga golongan, antara lain:
- Filosof Material (Dahariyyun), para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos (alam semesta) ini ada dengan sendirinya
- Filosof Naturalis (Thabi'iyyun), para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melaluli penyelidikan-penyelidikan itu mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam ini, walaupun mereka tetap mengingkari Allah, Rasul, dan hari kebangkitan. Mereka ini tidak mengenal pahala dan dosa, serta hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
- Filosof Ketuhanan (Illahiyun), para filosof Yunani, seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Filososf Material dan Naturalis), tapi ia itu tidak dapat membebaskan diri dari sia-sisa kekafiran dan keherodoksian, maka Aristotelse termasuk Al-Frabi dan Ibnu Sina yang telah menyampaikan pemikiran ini di dunia Islam.
Beberapa Uraian yang Dikemukakan Al-Ghazali
- Masalah Kekadiman Alam, keterdahuluan (kekadiman) Allah dari alam dari segi zat (taqaddum zaty) dan tidak dari sedi zaman (taqaddum zamany), seperti keterdahuluan sebab dari akibat dan cahaya dari matahari. Al-Ghazali pun mengemukakan argumen guna menopan pendapat ini. pertama, kemustahilan timbulnya pembeharu dari yang Kadim. Proporsi ini berlaku sebab akibat, maksudnya jika Allah itu kadim, maka terjadinya alam merupakan suatu keniscayaan dan hal ini akan menjadi kadim kedua-duanya (Allah dan alam). kedua, keterdahuluan wujud Allah dari alam, yakni dibedakan hanya dari segi esensi (taqaddum zaty), sedangkan dari segi zaman (taqaddum zamany), antara keduanya adalah sama. ketiga, alam sebelum wujudnya merupakan suatu yang mungkin, kemungkinan ini tidak ada awalnya, maksdunya selalu abadi. Menurut Al-Ghazalu alam ini senantiasa mungkin terjadinya dan setiap saat dapat digambarkan terjadinya.
- Tuhan Tidak Mengetahui yang Juz'iyyat (parsial), Al-Ghazalu berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya dan tidak mengetahui yang selain-nya. Untuk memperkuat argumennya. Al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat Al-Qur'an, yaitu QS. Yunus (10:61) dan QS. Al-Hujurat (49:16)
- Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Sebab Akibat (Kausalitas) dan Mukjizat
Telah disebutkan bahwa Al-Ghazali sebenarnya tidak
mengingkari adanya hukum kausalitas. Namun yang ia ingkari adalah pendapat para
filsof Muslim yang mengatakan bahwa hubungan sebab akibat merupakan hubungan
kepastian atau keniscayaan. Sikap Al-Ghazali ini didasari oleh konsep bahwa
Allah adalah pencipta segala yang ada termasuk peristiwa yang berada di luar
kebiasaan. Pada sisi lain, untuk menjaga jangan sampai terjadi adanya anggapan
di kalangan kaum Muslimin bahwa apa yang terjadi di ala mini hanya disebabkan
kekuatan kebendaan semata. Padahal, ada sebab lain dibalik kebendaan itu yang
merupakan rahasia tersembunyi, yang justru inilah yang merupakan sebab hakiki,
yakni Allah.
Pendapat Al-Ghazali tentang ini terdapat dalam
kitabnya Tahafut al-Falasifat. Mnurut Al-Ghazali, hubungan antara sebab dan
akibat tidak bersifat dharuriy (kepastian), dalam pengertian keduanya tidak
merupakan hubungan yang mesti berlaku, tetapi keduanya masing-masing memiliki
individualitasnya sendiri. Sebagai contoh, antara makan dan kenyang tidak
terdapat hubungan yang bersifat keniscayaan. Artinya, orang makan tidak niscaya
merasa kenyang karena makan tidak mesti menyebabkan orang kenyang. Semua ini
merupakan adat atau kebiasaan alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala
sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata.
Menurut pandangan Al-Ghazali ketika Nabi Ibrahim di
bakar, api itu tidak membakar Nabi Ibrahim karena memang api bukan pembuat
terbakar. Akan tetapi, hal itu adalah perbuatan Allah dengan kudrat dan
iradat-Nya. Demikian juga dengan kasus Nabi Isa bisa menghidupkan orang mati,
tongkat Nabi Musa berubah menjadi ular, bisa terjadi karena menyangkut materi
yang sifatnya menerima perubahan. Al-Ghazali mengatakan, kejadian yang
menyimpang dari kebiasaat di alam bisa saja terjadi atas kehendak dan iradat
Allah.
Dalam peristiwa yang terjadi pada para nabi yang
menyimpang dari kebiasaan, para filsof serta Al-Ghazali menerima terjadinya
hujan, petir, gempa bumiatas kekuatan diri nabi atau karena hal lain. Namun
yang lebih penting, Al-Ghazali mengatakan bahwa harus mengakui bahwa semuanya
terjadi atas kehendak Allah, baik secara langsung maupun melalui perantaraan
malikat sebagai mukjizat untuk menguatkan bukti kenabian mereka.
Dalam masalah perubahan jenis, seperti hitam berubah
menjadi putih, batu berubah menjadi emas, benda berubah menjadi binatang,
dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, Allah bisa saja melakukan hal yang demikian karena ia tidak
tergolong pada hal yang mustahil. Sebab hal yang mustahil adalah menetapkan
sesuatu dan meniadakannya sekaligus pada waktu yang bersamaan, atau menetapkan
dua hal yang berlawanan sekaligus. Contoh, menetapkan hitam dan putih terhadap
suatu benda pada waktu yang bersamaan, atau menetapkan dua hal yang berlawanan
sekaligus.
Apabila Allah menggerakkan tangan orang mati, lalu duduk, kemudian
menulis sehingga menghasilkan tulisan yang teratur, hal ini tidaklah mustahil,
jika kita membolehkan terjadinya hal-hal baru pada iradat bebas Allah. Hanya
saja hal ini diingkari karena terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan adat
atau kebiasaan. Sementara itu, Al Ghazali mengembalikan semua itu kepada
kehendak dan kekuasaan mutlak Allah. Atas kehendak dan kekuasaan-Nya semuanya
bisa terjadi meskipun berlawanan dengan kebiasaan. Dari segi inilah terjadinya
mukjizat para nabi.
Sumber Pendukung
Ahmad Atabik, "Telaah Pemikrian Al-Ghazali Tentang Filsafat", Jurnal Fikrah, Vol. 2, No.1,
Juni 2014.
Komentar
Posting Komentar